Dalam Islam, apapun alasannya mengambil harta seseorang tanpa izin adalah tidak diperbolehkan alias haram. Apapun alasannya walau untuk tujuan baik, semisal Robin Hood mencuri untuk membantu orang miskin. Hal ini karena hukum Islam memang harus memberikan kejelasan, kenyamanan dan ketentraman juga rasa keadilan pada umat manusia.
Apa pun alasan yang digunakan, sekalipun maksud dan tujuannya untuk kebaikan, menolong fakir miskin, misalnya hal tersebut tidak dibenarkan, Harta itu termasuk salah satu hak yang diharamkan untuk diambil dan dipergunakan begitu saja, kecuali atas izin pemiliknya. Jika pun terpaksa harus dilakukan, tentu dalam keadaan daurat dan sangat memaksa, hubungannya dengan hal-hal yang tak bisa ditunda, itu saja harus mengambil seperlunya saja dan dengan catatan setelahnya, lapor pada pemilik harta dan mohon ridho-nya atas apa yang dilakukan bukan unsur kesengajaan.
Jangan salah, meski terkesan sepele karena harta itu masih lingkup suami, namun Islam sangat melarang keras mengambil sesuatu tanpa hak atau permisi alias mencuri. Hal ini ditegaskan dalam Al Qur’an:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah: 38).
Sahabat Ummi, namun apabila yang dilakukan istri semata-mata karena suami benar-benar pelit untuk memberikan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, sedangkan suami sebenarnya mempunyai uang yang cukup, sedang bila sudah dikomunikasikan sehari-hari mengenai hal ini suami tidak peduli, lalu bolehkah istri mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya?
Apakah hal ini dikategorikan mencuri seperti dalam kaidah Islam? Karena seperti diketahui sebenarnya kewajiban menafkahi keluarga, dan mencukupkan kebutuhannya ada dipundak sang suami. Lain halnya jika suami karena suatu dan lain hal tidak bisa menafkahi istrinya, seperti sakit, sangat renta atau sedang dalam masalah hukum (di penjara).
Mazhab Syafi’i mengungkapkan jika hukum mengambil harta suami untuk sekedar menopang kehidupan keluarga inti, bukan berniat untuk boros atau hura-hura maka hal ini diperbolehkan. Ini dengan catatan jika suami bersifat bakhil dan enggan memenuhi kewajibannya untuk keluarga. Kadar yanag diambil disesuaikan porsinya, tidak boleh berlebihan. Diluar haknya tersebut maka tidak diperbolehkan, kecuali jika hak memperoleh nafkah itu terhalang.
Sedang mazhab Hanafi menuturkan hukum mengambil harta suami tanpa izin tidak diperbolehkan kecuali harta yang diambil memang sudah menjadi hak istrinya. Mazhab Maliki juga memperbolehkan selama istri terhalang dari haknya. Berbeda dari ini semua, mazhab Hambali mempunyai pendapat jika mengambil harta suami tanpa seizinnya dilarang secara mutlak.
Hadis yang berhubungan dengan ini adalah hadis yang riwayat Aisyah RA. Hadis itu mengisahkan pengaduan oleh Hindun bin Atabah di hadapan Rasulullah. Ia mengaku telah mengambil uang suaminya, Abu Sufyan. Konon, sang suami, menurutnya, sangat bakhil. Ia terpaksa memungut harta suami tanpa sepengetahuannya. Lalu, Rasulullah bersabda, “Ambillah sebatas apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan wajar.”
Pendapat lainnya dari Imam Nawawi, mengatakan jika sebaiknya istri tidak mengutak atik harta suami tanpa seizinnya, sekalipun bermaksud untuk bersedekah, atau kebaikan lainnya. Namun ada kecualinya jika suami pelit dan tidak memenuhi kewajaibannya, tentu mengambil harta ini masih dalam porsi wajar dan tidak berlebihan. Hanya sekedar untuk memenuhi keluarganya.
Dari seluruh pendapat diatas tentu dapat disimpulkan jika istri sah-sah saja membelanjakan harta pribadinya, dan ini tak perlu meminta izin khusus pada suami. Namun jika sudah menyangkut harta suami, rata-rata pandangan ulama sama, tetap tidak boleh mengambilnya tanpa izin suami, meski untuk urusan bersedekah atau urusan kebaikan lainnya. Keizinan adalah mutlak. Namun jika sudah menyangkut suami pelit tidak mau memberikan nafkah pada istri secara pantas padahal diperlukan untuk menutup kebutuhan sehari-hari, maka hal itu diperbolehkan namun dengan catatan. Yakni istri mengambil seperlunya, batas wajar, untuk kebutuhan inti, tidak boleh berfoya-foya dan berlebihan, namun jika melebihi dari itu maka hukumnya tetap haram.
Tetap komunikasi yang baik ya sahabat Ummi. Beri pengertians ebaik-baiknya pada suami jika kebutuhan hidup sehari-hari itu menyentuh angka sekian. Ajak suami turut menghitung dan berbelanja kebutuhan sehari-hari agar tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan dirumah. Mengambil tanpa izin harta suami adalah alternative terakhir jika dalam keadaan darurat dan terpaksa sangat setelah suami benar-benar pelit memenuhi kebutuhan keluarga. Tetap ada cara untuk mengatasi kebuntuan ini ya sahabat Ummi, belajarlaha berkomunikasi cerdas dan santun, insyaAllah kepelitan suami akan segera berakhir.
Di luar itu, seperti belanja urusan sekunder, atau bersedekah, tetap harus seizin suami. Kecuali bila harta yang dibelanjakan itu murni harta pribadi istri, sah-sah saja ia men-tasharruf-kannya walaupun tanpa mengantongi izin suami.
Jawaban :
Jika situasinya adalah seperti yang Anda sebutkan tadi, yaitu Anda mengambil untuk kebutuhan Anda dan anak-anak Anda, maka boleh bagi Anda untuk mengambilnya (tanpa sepengetahuan suami Anda) sebanyak yang Anda butuhkan dan anak-anak Anda butuhkan dengan cara yang baik (yaitu tidak berlebihan, secukupnya saja – pent). Sebagaimana ada riwayat¹ (dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha) bahwa istri Abu Sufyan yakni Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberiku (nafkah) yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil darinya tanpa sepengetahuannya,”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “ambillah dari hartanya dengan cara yang baik sebanyak yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu,”.
Hanya Allah-lah Pemberi petunjuk.²
Jadi dari jawaban di atas, diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengambil harta suaminya tanpa ijin bila suaminya pelit dan tidak memberikan nafkah secara cukup, padahal suaminya mampu. Hal ini tidak sama dengan mencuri, dan tidak berdosa karenanya, karena apa yang diambil adalah hak istri dan anak-anaknya. Dengan catatan, mengambilnya pun harus sesuai dengan kadar kebutuhan, tidak berlebih-lebihan, tidak untuk berfoya-foya. Dan alangkah lebih baiknya bila hal semacam ini dikomunikasikan terlebih dahulu dengan baik antara suami-istri. Yaitu, istri sebaiknya mengingatkan suaminya untuk tidak lalai, tidak pelit dalam memberikan hak istri dan anak-anaknya. Dengan demikian ada amar ma’ruf nahi munkar di antara keduanya. Namun bila sudah diingatkan, suami tetap melalaikan hak istri dan anak-anaknya, maka diperbolehkan mengambil hartanya tanpa ijin. Wallahu a’lam.
Sumber: ummi-online.com
from Sehinggit Media News http://ift.tt/2upEsAg
via IFTTT
from Merah Hati Cintaku http://ift.tt/2u9ROVN
via merahhaticintaku.blogspot.my
No comments:
Post a Comment